Kesibukan kerja, lamanya waktu yang dihabiskan untuk mengarungi kemacetan di jalanan, serta rutinitas yang sama setiap hari, sering membuat kita dilanda kebosanan. Sampai di rumah pun, kita langsung terjebak dalam aktivitas yang sama: menyiapkan makan malam untuk keluarga, menemani anak belajar, dan mengantar mereka tidur. Sesampai di kamar tidur sendiri, kita sudah kehabisan tenaga. Seks hanya menjadi kewajiban, alih-alih mau bereksperimen dengan berbagai gaya dan mengakhiri sesi malam dengan pillow talk.
Bila Anda mengalami situasi seperti ini, Anda tidak sendiri. Bahkan kemungkinan, Anda masih jauh lebih beruntung. Kenyataannya, 10 - 20 persen hubungan asmara di Amerika saat ini tidak lagi melakukan hubungan seks, demikian menurut Robert Epstein, PhD, psikolog dan pendiri Cambridge Center for Behavioral Studies di Beverly, Mass. Jumlah itu sama dengan 40 juta orang. Fakta ini cukup mengejutkan, mengingat orang biasanya malu mengakui bahwa mereka tidak mengalami tingkat kepuasan seksual atau frekuensi hubungan seks tertentu.
Sebuah survei menemukan bahwa 30 persen responden pria di usia 40-an, dan 34 persen di usia 50-an (dan terlibat dalam hubungan) tidak berhubungan seks tahun sebelumnya. Pada perempuan usia 40-an dan 50-an, sekitar 21 persennya dilaporkan tidak berhubungan seks dengan pasangannya pada tahun sebelumnya.
Pasangan akan dikatakan tidak berhubungan seks jika mereka hanya bercinta kurang dari satu kali dalam sebulan, atau kurang dari 10 kali dalam setahun, jelas Dr Epstein. Tidak berarti pasangan ini tidak merasakan cinta, atau tidak bahagia dengan hubungannya, karena 5-7 persen dari pasangan ternyata mengalami kebahagiaan sempurna dalam hubungan tanpa seks tersebut. Namun, apakah Anda dan pasangan puas dengan tidak melakukan hubungan seks tersebut?
Jika seks tidak lagi menjadi bagian dari hubungan berpasangan, ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebabnya. Mungkin kedua pasangan memang memiliki dorongan seks yang rendah, dan memilih untuk tidak berhubungan seks terlalu sering. Atau, kepuasan seksual pasangan terganggu oleh kehamilan dan kehadiran bayi, masalah kesehatan, atau penuaan.
Tidak ada standar baku mengenai frekuensi hubungan seks yang ideal, atau bagaimana mengukur tingkat kepuasan seksual seseorang. Menurut Epstein, kuncinya adalah memahami apa yang baik dan buruk. Baik, artinya kebutuhan seksual setiap orang terpenuhi. Sedangkan bila buruk, paling sedikit kebutuhan seksual salah satu pihak tidak terpenuhi.
Namun jika libido kedua belah pihak memang tergolong rendah, dan kebutuhan mereka sudah cukup terpenuhi, pasangan bisa saja memiliki pernikahan yang bahagia meskipun tanpa seks, tegas Epstein. Begitu pula jika pasangan bisa memahami bahwa kondisi kesehatan membuat hubungan seks jadi berkurang, maka kedua belah pihak tetap bisa bahagia. Toh, pasangan tetap bisa memberikan keintiman dalam bentuk lain seperti pelukan, berpegangan tangan, saling memijat, menyentuh, dan lain sebagainya.
Berciuman juga bisa menciptakan keintiman yang lebih besar daripada hubungan seks, begitu pendapat Jill Blakeway, direktur klinis YinOva Center di New York City, dan penulis buku Sex Again: Recharging Your Libido.
Sebuah survei menemukan bahwa 30 persen responden pria di usia 40-an, dan 34 persen di usia 50-an (dan terlibat dalam hubungan) tidak berhubungan seks tahun sebelumnya. Pada perempuan usia 40-an dan 50-an, sekitar 21 persennya dilaporkan tidak berhubungan seks dengan pasangannya pada tahun sebelumnya.
Pasangan akan dikatakan tidak berhubungan seks jika mereka hanya bercinta kurang dari satu kali dalam sebulan, atau kurang dari 10 kali dalam setahun, jelas Dr Epstein. Tidak berarti pasangan ini tidak merasakan cinta, atau tidak bahagia dengan hubungannya, karena 5-7 persen dari pasangan ternyata mengalami kebahagiaan sempurna dalam hubungan tanpa seks tersebut. Namun, apakah Anda dan pasangan puas dengan tidak melakukan hubungan seks tersebut?
Jika seks tidak lagi menjadi bagian dari hubungan berpasangan, ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebabnya. Mungkin kedua pasangan memang memiliki dorongan seks yang rendah, dan memilih untuk tidak berhubungan seks terlalu sering. Atau, kepuasan seksual pasangan terganggu oleh kehamilan dan kehadiran bayi, masalah kesehatan, atau penuaan.
Tidak ada standar baku mengenai frekuensi hubungan seks yang ideal, atau bagaimana mengukur tingkat kepuasan seksual seseorang. Menurut Epstein, kuncinya adalah memahami apa yang baik dan buruk. Baik, artinya kebutuhan seksual setiap orang terpenuhi. Sedangkan bila buruk, paling sedikit kebutuhan seksual salah satu pihak tidak terpenuhi.
Namun jika libido kedua belah pihak memang tergolong rendah, dan kebutuhan mereka sudah cukup terpenuhi, pasangan bisa saja memiliki pernikahan yang bahagia meskipun tanpa seks, tegas Epstein. Begitu pula jika pasangan bisa memahami bahwa kondisi kesehatan membuat hubungan seks jadi berkurang, maka kedua belah pihak tetap bisa bahagia. Toh, pasangan tetap bisa memberikan keintiman dalam bentuk lain seperti pelukan, berpegangan tangan, saling memijat, menyentuh, dan lain sebagainya.
Berciuman juga bisa menciptakan keintiman yang lebih besar daripada hubungan seks, begitu pendapat Jill Blakeway, direktur klinis YinOva Center di New York City, dan penulis buku Sex Again: Recharging Your Libido.
"Berciuman adalah salah satu cara pertama untuk terhubung secara seksual. Sesi ciuman itu penting, karena menurunkan kadar hormon stres, kortisol, dan meningkatkan oksitosin, hormon untuk bonding. Itu sebabnya, berciuman membuat orang lebih rileks dan mampu membangun koneksi. Pengobatan China mengatakan bahwa mulut dan lidah memiliki koneksi dengan hati. Ciuman pun mengikat orang satu sama lain," paparnya.
Yang akan menjadi masalah adalah jika ada ketidakseimbangan antara pasangan. Misalnya, satu pihak memiliki hasrat seks yang rendah, sementara yang lain dorongan seksnya tinggi. Meskipun mereka mengawali hubungan dengan dorongan seks yang sama, namun ketika kebutuhan akan kepuasan seksual salah satu pihak berubah, salah satu pihak merasa tidak bahagia dengan perubahan tersebut.
Epstein mengakui, banyak dari pasangan tanpa hubungan seks ini yang merasa tidak bahagia. Data yang diperolehnya dari 3.000 orang di Amerika dan Canada, 4,8 persen pria mengakui diri mereka memiliki dorongan seks yang rendah. Pada wanita, lebih dari dua kali lipatnya (10,8 persen) mengakui rendahnya hasrat seks mereka.
Yang akan menjadi masalah adalah jika ada ketidakseimbangan antara pasangan. Misalnya, satu pihak memiliki hasrat seks yang rendah, sementara yang lain dorongan seksnya tinggi. Meskipun mereka mengawali hubungan dengan dorongan seks yang sama, namun ketika kebutuhan akan kepuasan seksual salah satu pihak berubah, salah satu pihak merasa tidak bahagia dengan perubahan tersebut.
Epstein mengakui, banyak dari pasangan tanpa hubungan seks ini yang merasa tidak bahagia. Data yang diperolehnya dari 3.000 orang di Amerika dan Canada, 4,8 persen pria mengakui diri mereka memiliki dorongan seks yang rendah. Pada wanita, lebih dari dua kali lipatnya (10,8 persen) mengakui rendahnya hasrat seks mereka.
Sumber: Huffington Post
0 komentar:
Posting Komentar